Tuesday, July 2, 2013

Budaya Selamatan di Desa Tamban


BUDAYA SELAMATAN DI DESA TAMBAN
Oleh: Faisal Rahman
Selamatan, adalah budaya religi yang sudah dilaksanakankan oleh warga Indonesia, khususnya Kalimantan sejak dahulu kala. Budaya ini masih tetap terjaga hingga sekarang, dimana masih banyak warga yang melaksanakannya untuk tujuan-tujuan tertentu. Di desa Tamban, budaya ini juga menjadi salah satu budaya atau adat yang hingga kini masih dibudidayakan oleh warga atau penduduk desa tersebut.
Di Tamban, selayaknya di daerah lain juga, selamatan dilaksanakan pada momen-momen tertentu untuk maksud dan tujuan tertentu yang biasanya berhubungan dengan nilai-nilai keagamaan, karena disana mayoritas penduduk beragama Islam, maka selamatan disana juga disesuaikan dengan norma-norma yang diajarkan oleh syariat Islam.
Budaya ini terus terjaga, karena dengan adanya selamatan, penduduk setempat selain dapat menunaikan maksud dan tujuan mereka dalam melaksanakannya, mereka juga dapat mempererat tali silaturrahmi mereka melalui selamatan, betapa tidak, penduduk disana biasanya memanfaatkan momen selamatan sebagai ajang mereka berkumpul bersama penduduk lain disamping mereka sering melaksanakan budaya yang lain, yaitu “mawarung’. Tapi tidak semua penduduk suka “mawarung” beda halnya dengan selamatan, semua penduduk pasti bersikap apresiatif terhadap undangan selamatan yang dilaksanakan salah satu penduduk sehingga bisa dikatakan semua penduduk disana pernah mengikuti kegiatan selamatan.
Selain itu, selamatan di desa Tamban juga mampu meningkatkan tenggang rasa setiap penduduk kepada penduduk lain, mereka biasanya saling membantu ketika ada salah satu penduduk yang melaksanakan selamatan, walaupun dalam hal yang sangat kecil seperti membantu dalam menyiapkan dan menghidangkan makanan, tapi itu sudah cukup bagi mereka untuk bisa saling membantu ketika ada selamatan.
Selamatan biasanya dilaksanakan pada momen-momen tertentu seperti, “maarwah, menyelamat dan mahaul”, “maarwah” biasanya dilaksanakan untuk memperingati sekaligus mendo’akan para keluarga mereka yang telah meninggal mendahului mereka. “Menyelamat” biasanya dilaksanakan ketika mereka memiliki benda-benda yang baru mereka miliki seperti rumah, sepeda motor, mobil dan sebagainya, selain itu “menyelamat juga mereka laksanakan sebagai rasa syukur terhadap anugerah yang baru mereka dapatkan misalnya mereka baru mendapatkan hasil panen dan sebagainya. “mahaul” adalah ritual tahunan yang dilaksanakan untuk memperingati hari meninggalnya keluarga mereka sekaligus juga mengirimkan do’a pada para arwah yang hari meninggalnya sedang diperingati.
“Menyelamat” biasanya mereka lakukan dengan tujuan agar barang atau benda yang baru saja mereka miliki dapat diberi berkah oleh Allah SWT serta dilindungi agar tidak menimbulkan kemudharatan di hari yang akan datang selain juga sebagai rasa syukur mereka atas apa yang dikaruniakan Tuhan kepada mereka berupa barang-barang atau benda berharga.
Selain itu, “menyelamat” juga dilaksanakan pada hari-hari besar keagamaan seperti hari idul fitri dan idul adha, penduduk desa Tamban “menyelamat” pada hari – hari besar tersebut sebagai ungkapan rasa syukur dan gembira akan rahmat yang diberikan oleh Allah SWT kepad mereka sehingga mereka diberi kesempatan untuk merayakan hari – hari besar tersebut.
“maarwah” biasanya mereka laksanakan pada hitungan-hitungan hari tertentu setelah meninggalnya anggota keluarga mereka, di desa Tamban ada beberapa hitungan hari yang biasanya mereka pakai sebagai hari pelaksanaan “maarwah” seperti :
-                      Sehari, penduduk desa Tamban biasanya melaksanakan acara selamatan sehari setelah meninggalnya anggota keluarga mereka untuk mengiringi kepulangannya ke rahmatullah dengan do’a.
-                      Dua hari, sama halnya dengan satu hari, mereka melaksanakan acara selamatan untuk mendo’akan arwah yang baru saja meninggal.
-                      Tiga hari, tiga hari setelah meninggalnya anggota keluarga mereka, penduduk desa Tamban kembali mengirimkan do’a dengan melaksanakan acara selamatan “maarwah”.
-                      Tujuh hari, acara selamatan “maarwah” ini biasanya disebut oleh penduduk desa Tamban dengan sebutan “manujuh hari” dimana mereka kembali mengirimkan do’a untuk anggota keluarga mereka yang meninggal tujuh hari atau seminggu sebelumnya.
-                      Dua puluh lima hari, acara selamatan “maarwah” pada hari ke dua puluh lima setelah meninggalnya anggota keluarga mereka ini, biasa disebut juga dengan acara “manyalawi” oleh penduduk desa Tamban, di hari ini, mereka kembali melaksanakan selamatan “maarwah” untuk kembali mendo’akan anggota keluarga mereka yang meniggal tersebut.
-                      Empat puluh hari, atau biasa disebut juga dengan sebutan “maampat puluh”, di hari  ini penduduk desa Tamban lagi-lagi mendo’akan anggota keluarga mereka yang telah meninggal selama empat puluh hari.
-                      Seratus hari, penduduk desa Tamban kembali melaksanakan selamatan “maarwah” pada hari ke seratus setelah meninggalnya anggota keluarga mereka, acara yang biasa disebut dengan “manyaratus” ini juga dilaksanakan dengan maksud dan tujuan yang sama dengan “maarwah” pada hari-hari sebelumnya yaitu untuk mendo’akan arwah anggota keluarga mereka tersebut.
Penduduk desa Tamban percaya, dengan mengirimkan do’a-do’a melalui acara “maarwah” akan meringankan beban anggota keluarga mereka yang sudah meninggal tersebut di alam akhirat sana.
Selain mendo’akan arwah, acara “maarwah” juga dimaksudkan untuk menjamu dan memberi makan kepada para penduduk setempat agar mendapat pahala, dan pahalanya tersebut di limpahkan kepada anggota keluarga mereka yang sudah meninggal atau sedang dido’akan tersebut.
Bahkan, karena adat “maarwah” ini sudah ada sejak dahulu kala dan masih terjaga hingga kini tanpa tergerus oleh derasnya arus modernisasi dan globalisasi, para pemuka agama telah membuat do’a-do’a khusus untuk acara “maarwah” tersebut, do’a-do’a itu disebut dengan do’a arwah dan biasa dibacakan dalam setiap acara atau kegiatan selamatan “maarwah”.
Disamping “menyelamat” dan “maarwah”, acara selamatan yang sering atau biasa dilaksanakan oleh penduduk desa Tamban adalah, “mahaul” acara ritual tahunan yang dilaksanakan untuk memperingati hari atau tanggal meninggalnya anggota keluarga mereka.
Seperti halnya “maarwah”, “mahaul” juga dilaksanakan untuk mengirimkan do’a kepada anggota keluarga mereka yang hari kematiannya sedang diperingati dan menjamu penduduk setempat agar mendapat pahala yang dilimpahkan untuk arwah anggota keluarga mereka tersebut.
Selain memperingati hari meninggalnya anggota keluarga mereka, penduduk desa Tamban juga biasa melaksanakan acara “mahaul” untuk memperingati hari meninggalnya para ulama atau pemuka agama besar sebagai rasa hormat dan kasih sayang mereka kepada para penerus perjuangan Rasulullah SAW tersebut. Acara “mahaul” para ulama besar ini biasanya diisi dengan pembacaan manakib dari ulama yang mereka peringati hari meninggalnya tersebut.
Manakib merupakan suatu buku yang berisikan cerita tentang kehidupan para ulama besar, biasanya berisi tentang biografi, kehidupan sehari – hari serta keramat (kelebihan khusus yang dimiliki oleh manusia pilihan Allah SWT), manakib biasanya dibuat atau dikarang oleh murid dari ulama besar tersebut. Tujuan dari pengarangan serta pembacaan manakib adalah untuk mengenang para ulama besar yang semasa hidupnya berjuang di jalan Allah SWT. Selain itu, para penduduk berharap bisa mendapatkan berkah dari pembacaan manakib tersebut.
Selain dari beberapa alasan dan penjelasan diatas, acara “maarwah” dan “mahaul” juga dilaksanakan sebagai wujud bakti seorang anak kepada orang tua yang sudah meninggal mendahuluinya atau sebaliknya sebagai rasa kasih sayang orang tua kepada anak yang meninggal mendahuluinya.
Budaya selamatan sebenarnya tidak terjaga dengan mudah, banyak sekali kendala – kendala yang sempat mengancam keberadaan budaya ini, salah satu kendala tersebut adalah munculnya pernyataan – pernyataan yang menolak keberadaan budaya tersebut dengan berbagai macam alasan mulai dari bid’ah hingga kemubajiran, pernyataan itu sempat menimbulkan pro dan kontra dari beberapa pihak yang memegang keyakinan berbeda, namun bagi penduduk desa Tamban, mereka tetap meyakini dan mempercayai bahwa acara selamatan adalah suatu hal yang baik dan patut mereka lestarikan sehingga mereka terus menjaga budaya tersebut hingga sekarang dengan terus melaksanakannya pada momen – momen yang sesuai dengan kegiatan tersebut meskipun mereka juga tidak memaksa kepada semua orang yang kontra terhadap pelaksanaan selamatan untuk melaksanakannya karena mereka menghargai kepercayaan orang lain.
Demikian gambaran – gambaran mengenai pelaksanaan budaya selamatan di desa Tamban yang selama ini tetap terjaga.

No comments:

Post a Comment