BUDAYA SELAMATAN DI DESA TAMBAN
Oleh: Faisal Rahman
Selamatan, adalah budaya religi yang sudah
dilaksanakankan oleh warga Indonesia, khususnya Kalimantan sejak dahulu kala.
Budaya ini masih tetap terjaga hingga sekarang, dimana masih banyak warga yang
melaksanakannya untuk tujuan-tujuan tertentu. Di desa Tamban, budaya ini juga
menjadi salah satu budaya atau adat yang hingga kini masih dibudidayakan oleh
warga atau penduduk desa tersebut.
Di Tamban, selayaknya di daerah lain juga,
selamatan dilaksanakan pada momen-momen tertentu untuk maksud dan tujuan
tertentu yang biasanya berhubungan dengan nilai-nilai keagamaan, karena disana
mayoritas penduduk beragama Islam, maka selamatan disana juga disesuaikan
dengan norma-norma yang diajarkan oleh syariat Islam.
Budaya ini terus terjaga, karena dengan adanya
selamatan, penduduk setempat selain dapat menunaikan maksud dan tujuan mereka
dalam melaksanakannya, mereka juga dapat mempererat tali silaturrahmi mereka
melalui selamatan, betapa tidak, penduduk disana biasanya memanfaatkan momen
selamatan sebagai ajang mereka berkumpul bersama penduduk lain disamping mereka
sering melaksanakan budaya yang lain, yaitu “mawarung’. Tapi tidak semua
penduduk suka “mawarung” beda halnya dengan selamatan, semua penduduk pasti
bersikap apresiatif terhadap undangan selamatan yang dilaksanakan salah satu
penduduk sehingga bisa dikatakan semua penduduk disana pernah mengikuti
kegiatan selamatan.
Selain itu, selamatan di desa Tamban juga
mampu meningkatkan tenggang rasa setiap penduduk kepada penduduk lain, mereka
biasanya saling membantu ketika ada salah satu penduduk yang melaksanakan
selamatan, walaupun dalam hal yang sangat kecil seperti membantu dalam
menyiapkan dan menghidangkan makanan, tapi itu sudah cukup bagi mereka untuk
bisa saling membantu ketika ada selamatan.
Selamatan biasanya dilaksanakan pada
momen-momen tertentu seperti, “maarwah, menyelamat dan mahaul”, “maarwah”
biasanya dilaksanakan untuk memperingati sekaligus mendo’akan para keluarga
mereka yang telah meninggal mendahului mereka. “Menyelamat” biasanya
dilaksanakan ketika mereka memiliki benda-benda yang baru mereka miliki seperti
rumah, sepeda motor, mobil dan sebagainya, selain itu “menyelamat juga mereka
laksanakan sebagai rasa syukur terhadap anugerah yang baru mereka dapatkan
misalnya mereka baru mendapatkan hasil panen dan sebagainya. “mahaul” adalah
ritual tahunan yang dilaksanakan untuk memperingati hari meninggalnya keluarga
mereka sekaligus juga mengirimkan do’a pada para arwah yang hari meninggalnya
sedang diperingati.
“Menyelamat” biasanya mereka lakukan dengan
tujuan agar barang atau benda yang baru saja mereka miliki dapat diberi berkah
oleh Allah SWT serta dilindungi agar tidak menimbulkan kemudharatan di
hari yang akan datang selain juga sebagai rasa syukur mereka atas apa yang
dikaruniakan Tuhan kepada mereka berupa barang-barang atau benda berharga.
Selain itu, “menyelamat” juga dilaksanakan
pada hari-hari besar keagamaan seperti hari idul fitri dan idul adha, penduduk
desa Tamban “menyelamat” pada hari – hari besar tersebut sebagai ungkapan rasa
syukur dan gembira akan rahmat yang diberikan oleh Allah SWT kepad mereka
sehingga mereka diberi kesempatan untuk merayakan hari – hari besar tersebut.
“maarwah” biasanya mereka laksanakan pada
hitungan-hitungan hari tertentu setelah meninggalnya anggota keluarga mereka,
di desa Tamban ada beberapa hitungan hari yang biasanya mereka pakai sebagai
hari pelaksanaan “maarwah” seperti :
-
Sehari, penduduk desa Tamban biasanya
melaksanakan acara selamatan sehari setelah meninggalnya anggota keluarga
mereka untuk mengiringi kepulangannya ke rahmatullah dengan do’a.
-
Dua hari, sama halnya dengan satu hari, mereka
melaksanakan acara selamatan untuk mendo’akan arwah yang baru saja meninggal.
-
Tiga hari, tiga hari setelah meninggalnya
anggota keluarga mereka, penduduk desa Tamban kembali mengirimkan do’a dengan
melaksanakan acara selamatan “maarwah”.
-
Tujuh hari, acara selamatan “maarwah” ini
biasanya disebut oleh penduduk desa Tamban dengan sebutan “manujuh hari” dimana
mereka kembali mengirimkan do’a untuk anggota keluarga mereka yang meninggal
tujuh hari atau seminggu sebelumnya.
-
Dua puluh lima hari, acara selamatan “maarwah”
pada hari ke dua puluh lima setelah meninggalnya anggota keluarga mereka ini,
biasa disebut juga dengan acara “manyalawi” oleh penduduk desa Tamban, di hari
ini, mereka kembali melaksanakan selamatan “maarwah” untuk kembali mendo’akan
anggota keluarga mereka yang meniggal tersebut.
-
Empat puluh hari, atau biasa disebut juga
dengan sebutan “maampat puluh”, di hari ini
penduduk desa Tamban lagi-lagi mendo’akan anggota keluarga mereka yang telah
meninggal selama empat puluh hari.
-
Seratus hari, penduduk desa Tamban kembali
melaksanakan selamatan “maarwah” pada hari ke seratus setelah meninggalnya
anggota keluarga mereka, acara yang biasa disebut dengan “manyaratus” ini juga
dilaksanakan dengan maksud dan tujuan yang sama dengan “maarwah” pada hari-hari
sebelumnya yaitu untuk mendo’akan arwah anggota keluarga mereka tersebut.
Penduduk desa Tamban percaya, dengan
mengirimkan do’a-do’a melalui acara “maarwah” akan meringankan beban anggota
keluarga mereka yang sudah meninggal tersebut di alam akhirat sana.
Selain mendo’akan arwah, acara “maarwah” juga
dimaksudkan untuk menjamu dan memberi makan kepada para penduduk setempat agar
mendapat pahala, dan pahalanya tersebut di limpahkan kepada anggota keluarga
mereka yang sudah meninggal atau sedang dido’akan tersebut.
Bahkan, karena adat “maarwah” ini sudah ada
sejak dahulu kala dan masih terjaga hingga kini tanpa tergerus oleh derasnya
arus modernisasi dan globalisasi, para pemuka agama telah membuat do’a-do’a
khusus untuk acara “maarwah” tersebut, do’a-do’a itu disebut dengan do’a arwah
dan biasa dibacakan dalam setiap acara atau kegiatan selamatan “maarwah”.
Disamping “menyelamat” dan “maarwah”, acara
selamatan yang sering atau biasa dilaksanakan oleh penduduk desa Tamban adalah,
“mahaul” acara ritual tahunan yang dilaksanakan untuk memperingati hari atau
tanggal meninggalnya anggota keluarga mereka.
Seperti halnya “maarwah”, “mahaul” juga
dilaksanakan untuk mengirimkan do’a kepada anggota keluarga mereka yang hari
kematiannya sedang diperingati dan menjamu penduduk setempat agar mendapat
pahala yang dilimpahkan untuk arwah anggota keluarga mereka tersebut.
Selain memperingati hari meninggalnya anggota
keluarga mereka, penduduk desa Tamban juga biasa melaksanakan acara “mahaul”
untuk memperingati hari meninggalnya para ulama atau pemuka agama besar sebagai
rasa hormat dan kasih sayang mereka kepada para penerus perjuangan Rasulullah
SAW tersebut. Acara “mahaul” para ulama besar ini biasanya diisi dengan
pembacaan manakib dari ulama yang mereka peringati hari meninggalnya
tersebut.
Manakib merupakan suatu buku yang berisikan cerita
tentang kehidupan para ulama besar, biasanya berisi tentang biografi, kehidupan
sehari – hari serta keramat (kelebihan khusus yang dimiliki oleh manusia
pilihan Allah SWT), manakib biasanya dibuat atau dikarang oleh murid
dari ulama besar tersebut. Tujuan dari pengarangan serta pembacaan manakib adalah
untuk mengenang para ulama besar yang semasa hidupnya berjuang di jalan Allah
SWT. Selain itu, para penduduk berharap bisa mendapatkan berkah dari pembacaan manakib
tersebut.
Selain dari beberapa alasan dan penjelasan
diatas, acara “maarwah” dan “mahaul” juga dilaksanakan sebagai wujud bakti
seorang anak kepada orang tua yang sudah meninggal mendahuluinya atau
sebaliknya sebagai rasa kasih sayang orang tua kepada anak yang meninggal
mendahuluinya.
Budaya selamatan sebenarnya tidak terjaga
dengan mudah, banyak sekali kendala – kendala yang sempat mengancam keberadaan
budaya ini, salah satu kendala tersebut adalah munculnya pernyataan –
pernyataan yang menolak keberadaan budaya tersebut dengan berbagai macam alasan
mulai dari bid’ah hingga kemubajiran, pernyataan itu sempat menimbulkan pro dan
kontra dari beberapa pihak yang memegang keyakinan berbeda, namun bagi penduduk
desa Tamban, mereka tetap meyakini dan mempercayai bahwa acara selamatan adalah
suatu hal yang baik dan patut mereka lestarikan sehingga mereka terus menjaga
budaya tersebut hingga sekarang dengan terus melaksanakannya pada momen – momen
yang sesuai dengan kegiatan tersebut meskipun mereka juga tidak memaksa kepada
semua orang yang kontra terhadap pelaksanaan selamatan untuk melaksanakannya
karena mereka menghargai kepercayaan orang lain.
Demikian gambaran – gambaran mengenai
pelaksanaan budaya selamatan di desa Tamban yang selama ini tetap terjaga.
No comments:
Post a Comment