Oleh : Faisal Rahman
Manusia adalah makhluk yang paling sempurna, karena manusia memilki akal dan nafsu, namun kesempurnaan manusia dapat terlihat dari bagaimana mereka mengendalikan keduanya, manusia bisa menjadi lebih mulia daripada malaikat yang hanya memiliki akal namun tidak memiliki nafsu ketika manusia mampu mengendalikan nafsunya dan memanfaatkan akalnya dengan baik, namun manusia juga bisa jadi lebih hina daripada binatang yang hanya memiliki nafsu ketika manusia dikendalikan oleh nafsunya sendiri dan tidak mampu mengaktualisasikan akalnya dengan baik.
Manusia terbagi dalam beberapa golongan agar mereka dapat saling mengenal, secara garis besar manusia dapat diklasifikasikan menjadi dua golongan yaitu golongan mayoritas dan golongan minoritas, golongan mayoritas adalah manusia biasa seperti kebanyakan orang, oleh karena itu disebut golongan mayoritas, dan golongan minoritas adalah golongan atau kaum yang jumlahnya tidak banyak atau bahkan sangat sedikit namun biasanya memiliki kelebihan dibandingkan kebanyakan orang.
Mahasiswa pun termasuk kedalam salah satu golongan tersebut, yaitu golongan minoritas karena jumlah mahasiswa sangatlah sedikit dibandingkan dengan jumlah manusia keseluruhan, selain itu mahasiswa juga memiliki kelebihan dari orang biasa, yaitu mereka adalah orang-orang yang mendapatkan pendidikan yang lebih tinggi dari kebanyakan orang, bahkan mahasiswa disebut-sebut sebagai kaum yang paling idealis dibandingkan semua kaum atau golongan oleh karena itu mahasiswa sering disebut dengan agent of change (agen perubahan), karena dengan idealismenya mereka “dipercayakan” sebagai pemegang tongkat espatet masa depan bangsa, Negara dan umat. Hal tersebut sebenarnya merupakan beban dan tanggung jawab tersendiri bagi mahsiswa yang juga memiliki kehidupan pribadi dan keluarga, dalam hal ini biasanya mereka dituntut untuk berpikir pragmatis karena mereka juga merupakan harapan dari orang tua untuk menjadikan keluarga yang lebih baik, sungguh dilema mahasiswa.
Namun jika menilik kembali potensi yang ada dalam diri seorang mahasiswa yang notabene telah mengenyam pendidikan yang tinggi, hal itu bukanlah sebuah dilema besar, karena mereka harusnya mampu menyeimbangkan kedua tanggung jawab (secara garis besar) mereka tersebut dengan pengetahuan dan kemampuan yang mereka miliki.
Mari kita sedikit buka sejarah, pada era reformasi (sekitar 1998) para mahasiswa dengan idealismenya mampu meruntuhkan rezim orde baru dan membawa revolusi besar pada Negara Indonesia, namun hal itu tidak membuat para mahasiswa yang pada masa itu turut berpartisipasi melupakan prestasinya di bangku kuliah, sebut saja Anas Urbaningrum (Ketua umum Partai Demokrat) yang pada masa itu merupakan seorang pemimpin sebuah organisasi besar (HMI. Red), kini beliau telah membuktikannya dengan menjadi salah satu orang yang sukses walaupun akhirnya dia harus tersandung sebuah kasus yang membuatnya harus melepaskan jabatannya tersebut, namun ada baiknya kita melihat sisi positifnya, bahwa dia telah membuktikan pada kita bahwa para “pejuang” era reformasi adalah para mahasiswa yang mampu menyeimbangkan dua sisi hidupnya yang berbeda (studi dan organisasi).
Hal tersebut bisa menjadi teladan bagi mahasiswa pada masa kini yang diakui atau tidak idealismenya sudah mulai terdegradasi, terkikis oleh budaya apatisme (acuh tak acuh) dan Pragmatisme (selalu mencari keuntungan dalam waktu yang instan) sehingga para agent of Change di negeri ini sudah mulai “binasa”. Mahasiswa pada hari ini terlihat takut mempertahnkan idelismenya sebagai mahasiswa dan lebih memilih tunduk pada tuntutan hidup yang berbau pragmatis dan apatis serta selalu dibayang-bayangi virus hedonisme (poya-poya) di era modern ini.
Maka dari itu, perlu ada yang namanya rekonstruksi idealisme mahasiswa untuk mengembalikan fungsi mahasiswa pada khittahnya. Semangat mahasiswa Indonesia.
Hidup Mahasiswa…!!!
No comments:
Post a Comment